Malam telah larut dan sunyi melingkupi suasana saat kehidupan tertidur di Kota Matahari¹. Pelita-Pelita telah dipadamkan di rumah-rumah yang tersebar disekeliling bait-bait agung di tengah pepohonan zaitun dan salam. Rembulan memancarkan sinar keperakan pada pilar-pilar pualam putih yang tegak seperti raksasa dalam keheningan malam. Menjaga bait-bait Ilahi dan memandang bingung ke arah menara-menara Lebanon yang mencuat di perbukitan nun di kejauhan.
Di malam selarut itu, sementara jiwa-jiwa takluk kepada rayuan tidur, Nathan, putra Imam Besar, memasuki Kuil Ishtar, membawa obor dengan tangan gemetar. Ia menyalakan pelita dan dupanya, hingga aroma dupa yang harum memenuhi seluruh pojoknya. Lalu ia bersujud di hadapan altar yang dihiaas dengan gading dan emas, mengangkat tangannya ke arah Ishtar, dan dengan suara yang tercekik ia berseru, ”Kasihanilah aku, Ishtar Yang Agung, Dewi Cinta dan Keindahan. Kasihanilah, dan singkirkanlah tangan-tangan MautMu dari kekasihku, yang telah dipilih jiwaku dengan kehendak-Mu. Ramuan dan tabib maupun tukang sihir tak sanggup menyelamatkan jiwanya, doa-doa para imam serta para tukang sihir pun tak sanggup. Tiada lagi yang dapat diperbuat selain kehendak-Mu yang kudus. Engkaulah pembimbingku dan penolongku. Kasihanilah aku dan kabulkanlah doa-doaku². Pandanglah hatiku yang remuk dan jiwaku yang sakit. Selamatkanlah nyawa kekasihku agar kami boleh bersuka cita dengan rahasia-rahasia kasih-Mu, serta memperoleh kemuliaan dalam indahnya Masa Muda yang mengungkapkan misteri kekuatan serta hikmat-Mu. Dari relung-relung hatiku yang terdalam, aku berseru kepada-Mu, wahai Ishtar Yang Ditinggikan, dari balik kegelapan malam, aku mohon belas kasihan-Mu. Dengarkan aku, ya Ishtar. Akulah hamba-Mu yang baik, Nathan, putra Imam Besar Hiram, kuserahkan segala perbuatan dan kata-kataku hanya pada kebesaran-Mu di altar-Mu.
Aku mencintai seorang gadis diantara semua gadis dan menjadikannya pasanganku. Tetapi para mempelai wanita jin iri terhadapnya dan meniupkan ke dalam tubuhnya penyakit yang aneh dan mengirimkannya kepada utusan maut yang sedang berdiri disamping tempat tidurnya, seperti hantu kelaparan, menebarkan sayap-sayap hitam di atasnya, mengulurkan cakar-cakar yang tajam untuk siap memangsanya. Sekarang aku datang kemari untuk memohon kepada-Mu agar mengasihaniku dan menyelamatkan bunga yang belum menikmati musim panas Kehidupan.
Selamatkanlah dia dari cengkeraman Maut agar kamu dengan penuh sukacita bisa menyanyikan pujian-pujian kepada-Mu serta membakar dupa untuk menghormati-Mu. Dan menyerahkan persembahan di altar-Mu, memenuhi wadah-wadah-mu dengan minyak wangi dan menebarkan bunga mawar serta violet di atas atap teras tempat ibadah-Mu, membakar dupa di hadapan tempat kudus-Mu. Selamatkanlah dia, ya Istar, Dewi Mukjizat, dan biarlah kami mengatasi Maut dalam pengumpulan antara Suka dengan Duka ini.”³
Nathan lalu terdiam. Matanya banjir dengan air mata dan hatinya berkeluh kesah, lalu ia melanjutkan ”Sungguh malang, mimpi-mimpiku berantakan, ya Ishtar yang Ilahi, dan hatiku luluh. Hidupkanlah aku dengan belas kasih-Mu, dan selamatkanlah kekasihku.”
Ketika itu, salah seorang budaknya memasuki kuil itu, bergegas kepada Nathan dan berbisik kepadanya, ”Beliau telah membuka matanya, Tuanku, dan melihat ke sekeliling, tetapi hamba tak dapat menemukan Tuanku, lalu beliau mencari Tuanku, dan hamba pun secepat mungkin mencari Tuanku.”
Nathan buru-buru pulang diikuti oleh budaknya.
Ketika sampai di istananya, ia memasuki kamar gadis yang sakit itu, menghampiri tempat tidurnya, memegangi tanngannya yang lemah, dan mengecup bibirnya beberapa kali, seolah-olah ingin menghembuskan nyawa baru ke dalam tubuhnya dengan nyawanya sendiri. Ia menggerakkan kepalanya di atas bantal sutra dan membuka matanya. Pada bibirnya tersungginglah senyum yang merupakan sisa-sisa nyaawanya. Gema debar jantungnya berpacu menuju perhentian, dan dengan suara seperti tangisan bayi yang kelaparan di dada ibunya yang layu, ia berkata ”Dewi telah memanggilku, wahai Kehidupan jiwaku, dan Maut telah datang untuk mengambilku darimu. Tetapi jangan takut, sebab kehendak Dewi sungguh sakral, dan tuntutan Maut itu adil. Sekarang aku akan berangkat dan aku dengar gemerisik putih telah turun, tetapi cangkir-cangkir Cinta Masa Muda masih penuh di tangan kita, dan jalan Kehidupan indah yang berbunga terhampar di hadapan kita. Aku akan berangkat, Kekasihku. Dengan bahtera roh, dan aku akan kembali ke dunia ini, sebab Ishtar Yang Agung akan mengidupkan kembali jiwa-jiwa manusia pengasih yang telah berangkat menuju Kekekalan sebelum mereka menikmati manisnya Cinta dan kebahagiaan Masa Muda.
Kita akan berjumpa lagi, Nathan, dan bersama-sama meminum embun fajar dari kuncup-kuncup bunga bakung dan bersukacita dengan burung-burung di atas pelangi warna-warni. Sampai nanti, Kekasihku, selamat tinggal.”
Suaranya melemah dan bibirnya gemetar seperti bunga tanggal di hadapan angin fajar. Nathan merangkulnya dengan air mata bercucuran, dan ketika ia kecup bibirnya, ternyata sudah dingin seprti baru di ladang. Ia menanfis sedih dan mulau mengoyakkan pakaiannya, ia rangkul jasad kekasihnya ssementara jiwanya bergidik melayang diantara Gunung Kehidupan dan Tebing Maut.
Di dalam keheningan malam, jiwa-jiwa yang sedang tidur terjaga. Kaum wanita dan anak-anak ketakutan mendengar ratapan yang menyedihkan itu dari istana Imam Besar Ishtar.
Ketika pagi yang letih tiba, rakyat menanyakan tentang Nathan untuk memberikan simpati, tetapi mereka diberitahu bahwa ia telah lenyap. Dua minggu kemudian, pemimpin sebuah karavan yang tiba dari Timur bercerita bahwa ia telah melihat Nathan di padang belantara, mengembara bersama sekawanan kijang.
Zaman berlalu, menghancurkan tindakan-tindakan peradaban yang tidak kukuh dengan kakinya yang tidak kelihatan, dan Dewi Cinta serta Keindahan telah meninggalkan negeri ini. Dewi yang aneh serta sering berubah-ubah menggantikannya. Ia menghancurkan kuil-kuil agung dan istana-istananya yang indah di Kota Matahari. Kebun anggrek yang berkembang serta dataran-dataran tinggi yang subur disia-siakan dan tak ada yang tersisa selain reruntuhan yang mengingatkan jiwa-jiwa yang sakit akan hantu-hantu masa lalu, menggaungkan pada roh-roh yang berduka hanya gema kidung kemuliaan. Namun, zaman yang telah menghancurkan perbuatan manusia tak dapat menghancurkan impian-impiannya. Mereka juga tak dapat melemahkan cintanya, sebab impian dan kasih sayang selamanya hiduo dengan Roh Kekal. Mungkin mereka lenyap untuk sementara waktu, mengejar matahari saat malam datang, dan bintang-bintang ketika pagi mucul. Namun seperti terang surga, pasti mereka kembali.
Di malam selarut itu, sementara jiwa-jiwa takluk kepada rayuan tidur, Nathan, putra Imam Besar, memasuki Kuil Ishtar, membawa obor dengan tangan gemetar. Ia menyalakan pelita dan dupanya, hingga aroma dupa yang harum memenuhi seluruh pojoknya. Lalu ia bersujud di hadapan altar yang dihiaas dengan gading dan emas, mengangkat tangannya ke arah Ishtar, dan dengan suara yang tercekik ia berseru, ”Kasihanilah aku, Ishtar Yang Agung, Dewi Cinta dan Keindahan. Kasihanilah, dan singkirkanlah tangan-tangan MautMu dari kekasihku, yang telah dipilih jiwaku dengan kehendak-Mu. Ramuan dan tabib maupun tukang sihir tak sanggup menyelamatkan jiwanya, doa-doa para imam serta para tukang sihir pun tak sanggup. Tiada lagi yang dapat diperbuat selain kehendak-Mu yang kudus. Engkaulah pembimbingku dan penolongku. Kasihanilah aku dan kabulkanlah doa-doaku². Pandanglah hatiku yang remuk dan jiwaku yang sakit. Selamatkanlah nyawa kekasihku agar kami boleh bersuka cita dengan rahasia-rahasia kasih-Mu, serta memperoleh kemuliaan dalam indahnya Masa Muda yang mengungkapkan misteri kekuatan serta hikmat-Mu. Dari relung-relung hatiku yang terdalam, aku berseru kepada-Mu, wahai Ishtar Yang Ditinggikan, dari balik kegelapan malam, aku mohon belas kasihan-Mu. Dengarkan aku, ya Ishtar. Akulah hamba-Mu yang baik, Nathan, putra Imam Besar Hiram, kuserahkan segala perbuatan dan kata-kataku hanya pada kebesaran-Mu di altar-Mu.
Aku mencintai seorang gadis diantara semua gadis dan menjadikannya pasanganku. Tetapi para mempelai wanita jin iri terhadapnya dan meniupkan ke dalam tubuhnya penyakit yang aneh dan mengirimkannya kepada utusan maut yang sedang berdiri disamping tempat tidurnya, seperti hantu kelaparan, menebarkan sayap-sayap hitam di atasnya, mengulurkan cakar-cakar yang tajam untuk siap memangsanya. Sekarang aku datang kemari untuk memohon kepada-Mu agar mengasihaniku dan menyelamatkan bunga yang belum menikmati musim panas Kehidupan.
Selamatkanlah dia dari cengkeraman Maut agar kamu dengan penuh sukacita bisa menyanyikan pujian-pujian kepada-Mu serta membakar dupa untuk menghormati-Mu. Dan menyerahkan persembahan di altar-Mu, memenuhi wadah-wadah-mu dengan minyak wangi dan menebarkan bunga mawar serta violet di atas atap teras tempat ibadah-Mu, membakar dupa di hadapan tempat kudus-Mu. Selamatkanlah dia, ya Istar, Dewi Mukjizat, dan biarlah kami mengatasi Maut dalam pengumpulan antara Suka dengan Duka ini.”³
Nathan lalu terdiam. Matanya banjir dengan air mata dan hatinya berkeluh kesah, lalu ia melanjutkan ”Sungguh malang, mimpi-mimpiku berantakan, ya Ishtar yang Ilahi, dan hatiku luluh. Hidupkanlah aku dengan belas kasih-Mu, dan selamatkanlah kekasihku.”
Ketika itu, salah seorang budaknya memasuki kuil itu, bergegas kepada Nathan dan berbisik kepadanya, ”Beliau telah membuka matanya, Tuanku, dan melihat ke sekeliling, tetapi hamba tak dapat menemukan Tuanku, lalu beliau mencari Tuanku, dan hamba pun secepat mungkin mencari Tuanku.”
Nathan buru-buru pulang diikuti oleh budaknya.
Ketika sampai di istananya, ia memasuki kamar gadis yang sakit itu, menghampiri tempat tidurnya, memegangi tanngannya yang lemah, dan mengecup bibirnya beberapa kali, seolah-olah ingin menghembuskan nyawa baru ke dalam tubuhnya dengan nyawanya sendiri. Ia menggerakkan kepalanya di atas bantal sutra dan membuka matanya. Pada bibirnya tersungginglah senyum yang merupakan sisa-sisa nyaawanya. Gema debar jantungnya berpacu menuju perhentian, dan dengan suara seperti tangisan bayi yang kelaparan di dada ibunya yang layu, ia berkata ”Dewi telah memanggilku, wahai Kehidupan jiwaku, dan Maut telah datang untuk mengambilku darimu. Tetapi jangan takut, sebab kehendak Dewi sungguh sakral, dan tuntutan Maut itu adil. Sekarang aku akan berangkat dan aku dengar gemerisik putih telah turun, tetapi cangkir-cangkir Cinta Masa Muda masih penuh di tangan kita, dan jalan Kehidupan indah yang berbunga terhampar di hadapan kita. Aku akan berangkat, Kekasihku. Dengan bahtera roh, dan aku akan kembali ke dunia ini, sebab Ishtar Yang Agung akan mengidupkan kembali jiwa-jiwa manusia pengasih yang telah berangkat menuju Kekekalan sebelum mereka menikmati manisnya Cinta dan kebahagiaan Masa Muda.
Kita akan berjumpa lagi, Nathan, dan bersama-sama meminum embun fajar dari kuncup-kuncup bunga bakung dan bersukacita dengan burung-burung di atas pelangi warna-warni. Sampai nanti, Kekasihku, selamat tinggal.”
Suaranya melemah dan bibirnya gemetar seperti bunga tanggal di hadapan angin fajar. Nathan merangkulnya dengan air mata bercucuran, dan ketika ia kecup bibirnya, ternyata sudah dingin seprti baru di ladang. Ia menanfis sedih dan mulau mengoyakkan pakaiannya, ia rangkul jasad kekasihnya ssementara jiwanya bergidik melayang diantara Gunung Kehidupan dan Tebing Maut.
Di dalam keheningan malam, jiwa-jiwa yang sedang tidur terjaga. Kaum wanita dan anak-anak ketakutan mendengar ratapan yang menyedihkan itu dari istana Imam Besar Ishtar.
Ketika pagi yang letih tiba, rakyat menanyakan tentang Nathan untuk memberikan simpati, tetapi mereka diberitahu bahwa ia telah lenyap. Dua minggu kemudian, pemimpin sebuah karavan yang tiba dari Timur bercerita bahwa ia telah melihat Nathan di padang belantara, mengembara bersama sekawanan kijang.
Zaman berlalu, menghancurkan tindakan-tindakan peradaban yang tidak kukuh dengan kakinya yang tidak kelihatan, dan Dewi Cinta serta Keindahan telah meninggalkan negeri ini. Dewi yang aneh serta sering berubah-ubah menggantikannya. Ia menghancurkan kuil-kuil agung dan istana-istananya yang indah di Kota Matahari. Kebun anggrek yang berkembang serta dataran-dataran tinggi yang subur disia-siakan dan tak ada yang tersisa selain reruntuhan yang mengingatkan jiwa-jiwa yang sakit akan hantu-hantu masa lalu, menggaungkan pada roh-roh yang berduka hanya gema kidung kemuliaan. Namun, zaman yang telah menghancurkan perbuatan manusia tak dapat menghancurkan impian-impiannya. Mereka juga tak dapat melemahkan cintanya, sebab impian dan kasih sayang selamanya hiduo dengan Roh Kekal. Mungkin mereka lenyap untuk sementara waktu, mengejar matahari saat malam datang, dan bintang-bintang ketika pagi mucul. Namun seperti terang surga, pasti mereka kembali.
¹ Baalbek atau Kota Baal disebut sebagai ”Kota Matahari”, dibangun untuk menghormati Dewi Matahari, Heliopolis, dan para sejarawan menyatakan bahwa Baalbek dulu adalah kota paling indah di Timur Tengah. Reruntuhannya dapat disaksikan saat ini, menandakan arsiterkut kota itu dipengaruhi oleh bangsa Romawi selama pendudukan Suriah.
² Ishtar adalah dewi agung bangsa Funisia. Mereka menyembahnya di kota-kota Tyre, Sidon, Sur, Djabeil dan Baalbek, dan menggambarkannya sebagai Yang Menyalakan Obor Kehidupan dan Pelindung Muda-Mudi. Orang-orang Yunani mengaguminya dan menyebutnya Dewi Cinta, Aphrodite, sedangkan bangsa Romawi menyebutnya Venus.
³ Pada zaman Jahiliyah, bangsa Arab percaya bahwa jika sesosok jin mencintai seorang manusia, ia akan mencegahnya menikah. Seandainya menikah, ia akan menyihir mempelai wanita dan membuatnya mati. Mitologis ini masih hidup hingga kini di desa-desa kecil Lebanon.